( kediaman pengepul timah.foto seribu pena.com)
Belinyu, Metro Online – Aroma aktivitas ilegal itu bukan lagi samar. Di Jalan Kuto Panji, Belinyu, Senin 28 Juli 2025 lalu, puluhan warga tampak berbaris dengan karung-karung di tangan. Kehadiran warga bukan untuk menerima bantuan atau antre sembako, melainkan menjual bijih timah secara ilegal. Penerimanya, seorang pria bernama Jhon, disebut sebagai pengepul atau penampung timah tanpa izin resmi.
Dikutip dari seribu pena.com,Tim investigasi yang mendatangi kediaman Jhon mendapati pemandangan mencengangkan. Di halaman rumahnya, deretan warga datang dan pergi, menyerahkan bijih timah, menurut pengakuan Jhon, bisa mencapai pertonan per hari. Suatu bisnis yang menjanjikan namun melanggar hukum.
“Kalau sehari ya bisa sampai ratusan kilo, kadang sampai satu ton, tergantung banyaknya yang datang,” ujar Jhon saat ditemui, dengan nada santai seolah aktivitas ini merupakan praktik lazim.
Namun, saat ditanya lebih lanjut tentang ke mana hasil timah itu dijual, Jhon hanya mengatakan, “Saya setor ke big bos A, pak.”
Yang menjadi perhatian adalah asal-usul bijih timah tersebut. Hingga saat ini belum diketahui pasti apakah timah itu berasal dari kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), atau bahkan dari area industri bekas tambang resmi. Namun satu yang pasti aktivitas jual-beli tersebut tidak memiliki legalitas yang jelas.
Sebab, saat ditanya soal izin resmi sebagai pengepul timah, Jhon tidak memberikan jawaban tegas. Ia justru menghindar.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius, terutama mengingat eksploitasi tambang ilegal sangat berpotensi merusak lingkungan serta merugikan negara secara ekonomi melalui kehilangan potensi pendapatan royalti dan pajak.
Pemerintah sebenarnya telah mengatur ketat aktivitas pertambangan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 sebagai revisi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Pasal 35 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa setiap bentuk aktivitas pengumpulan dan penjualan hasil tambang wajib memiliki izin resmi, termasuk bagi pengepul atau kolektor timah.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM bahkan menegaskan bahwa tak hanya pelaku penambangan ilegal yang melanggar hukum, tetapi juga pengepul seperti Jhon yang membeli dari sumber tak jelas dan menjualnya tanpa izin.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari APH. Namun masyarakat berharap aparat segera turun tangan untuk menghentikan praktik ilegal ini sudah jelas merugikan negara dan merusak tatanan hukum.
Sejumlah warga sekitar pun mengaku khawatir, meski sebagian juga tergoda dengan nilai ekonomi yang dihasilkan. “Memang banyak warga yang bergantung ke sana, tapi kalau dibiarkan begini terus, nanti hutan rusak, anak cucu kita bagaimana?” ungkap seorang warga yang enggan disebut namanya.
Fenomena ini mencerminkan sebuah kondisi sosial yang mengkhawatirkan. Di banyak daerah pertambangan, kegiatan ilegal seperti dilakukan Jhon justru dianggap “lumrah” dan “wajar”. Padahal secara hukum, tindakan tersebut dapat dijerat pidana.
Jika dibiarkan, bukan hanya lingkungan dan hukum yang dikorbankan, tetapi juga wibawa negara dalam mengatur dan mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan dan adil.(Red)
telah dibaca :
51