Gunakan Material “Ilegal” di Balik Poyek Natuna: Sekda Harus Sesuai Regulasi

(Foto sesuai dengan isi berita)

Natuna, Metro Online – Di balik deru ekskavator dan deretan proyek infrastruktur terus dikebut di Natuna, mengintai persoalan besar jarang tersorot. Penggunaan material ilegal dalam pembangunan sudah menjadi “rahasia umum”.

Pasir, batu pecah, kerikil, dan tanah urug yang digunakan untuk membangun jalan, jembatan, hingga gedung pemerintahan diduga kuat berasal dari tambang-tambang yang tak mengantongi izin resmi. Praktik ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga menyisakan ancaman serius bagi lingkungan dan tata kelola pemerintahan.

Sekretaris daerah Sekda Natuna Boy Wijanarkopun bersuara lantang dengan meminta material harus sesuai regulasi yang ada. Hal ini disampaikan Boy saat dikonfirmasi wartawan lewat telepon selulernya, Selasa, 02/09/2025.

Material ilegal bukan sekadar urusan dokumen dan administrasi. Proses pengambilan material dari tambang ilegal sering kali tak melalui kajian lingkungan dan pengawasan teknis. Hasilnya bisa ditebak, bukit gundul, longsor, banjir, hingga pencemaran sumber air tanah.

Aktivitas semacam ini meninggalkan luka ekologis yang jauh lebih mahal ketimbang manfaat ekonominya. Dan lebih parah semua ini terjadi atas nama “pembangunan”.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) jelas menyatakan, penambangan tanpa izin adalah tindak pidana. Pelakunya terancam hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.

Kontraktor yang dengan sadar menggunakan material dari sumber ilegal pun tak luput dari jerat hukum. Mereka bisa dikenai sanksi administratif, pemutusan kontrak, daftar hitam dalam proses tender, hingga ancaman pidana.

Bahkan pemerintah daerah bisa terseret masalah bila tetap menarik pajak dari material yang diperoleh secara ilegal. Ini dapat dianggap bentuk “pembiaran terstruktur” terhadap tambang ilegal.

Dalam kebuntuan ini, regulasi sebenarnya telah menawarkan jalan keluar, Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Skema ini memungkinkan masyarakat melakukan penambangan dalam skala kecil, secara legal, dengan prosedur lebih sederhana ketimbang izin tambang skala besar.

IPR bisa menjadi titik temu yang adil. Masyarakat tetap bisa bekerja, kontraktor mendapat material yang sah, dan pemerintah daerah bisa memungut pajak dengan dasar hukum  kuat. Sayangnya, sejauh ini, implementasi IPR di Natuna masih minim.

Kasus di Natuna menjadi cermin buram bagaimana pembangunan bisa melenceng jika mengabaikan aturan. Di satu sisi, kebutuhan infrastruktur memang mendesak namun di sisi lain, tata kelola sumber daya alam tak boleh dikorbankan demi percepatan proyek.

Diperlukan keberanian politik, penegakan hukum yang konsisten, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam pengawasan. Karena pembangunan berkelanjutan bukan sekadar soal jalan mulus dan gedung baru, tapi tentang bagaimana semua itu dibangun tanpa merusak masa depan.

“Harus sesuai regulasi yang ada,” kata Sekda Boy Wijanarko. Sebuah pernyataan sederhana, namun  maknanya bisa sangat dalam.(Roy



telah dibaca :
24