(Juru bicara KPK foto istimewa)
Natuna, Metro Online – Sebuah kabupaten kepulauan, sering kali luput dari sorotan nasional kini menjadi pusat perhatian lembaga antikorupsi. Bukan karena skandal besar atau operasi tangkap tangan, tetapi karena sesuatu yang tampak sederhana mulai dari batu, tanah, dan pasir. Material konstruksi ini, menjadi pondasi berbagai proyek pembangunan, kini legalitasnya di pertanyakan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas menyoroti dugaan penggunaan material ilegal dalam proyek pemerintah di wilayah ini. Dalam pernyataannya, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengingatkan pentingnya legalitas dalam kegiatan pertambangan yang menyuplai bahan ke proyek-proyek negara.
“Tanpa izin jelas, material yang digunakan dalam proyek pemerintah rawan ilegal dan berdampak pada lingkungan,” tegas Budi, Rabu (10/9/2025).
Menurutnya, penataan izin tambang bukan hanya formalitas administratif, tapi menyangkut kepatuhan terhadap standar teknis dan perlindungan lingkungan hidup. Aktivitas tambang tanpa izin tak hanya menyalahi hukum, tapi juga merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan wilayah pesisir seperti Natuna.
Dari hasil wawancara dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Natuna pada 27 Agustus 2025, terungkap fakta mencengangkan, hanya satu perusahaan yang memiliki izin resmi galian C di seluruh wilayah Natuna, PT Berkah Tambang Sejahtera Natuna. Perusahaan ini pun hanya mengantongi izin untuk menggali logam tanah urukan sejak 2022.
Dengan banyaknya proyek pembangunan yang berjalan di daerah ini, muncul pertanyaan, dari mana sebenarnya sumber material-material lain yang digunakan?
Sekretaris Daerah Natuna, Boy Wijanarko, tak menampik kekhawatiran tersebut. Ia menegaskan bahwa kontraktor pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahan material berasal dari tambang yang sah secara hukum.
“Material ilegal berpotensi menjerat pelaku secara hukum pidana, bukan sekadar administrasi,” ujarnya.
Penggunaan material ilegal tidak hanya soal pelanggaran izin, tapi juga berpotensi merugikan keuangan negara. Harga material dari tambang ilegal lebih murah sering menjadi alasan utama pemakaiannya, namun risikonya jauh lebih besar kerusakan lingkungan, potensi konflik sosial, hingga proses hukum.
KPK pun tidak tinggal diam. Budi menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau praktik-praktik penyimpangan ini dan mendukung aparat penegak hukum dalam menindak para pelaku yang menyalahgunakan kewenangan atau terlibat dalam distribusi material ilegal.
“Kami ingin memastikan proyek pemerintah berjalan secara transparan dan berkelanjutan,” tutup Budi.
Di balik gencarnya pembangunan infrastruktur, tersimpan PR besar bagi pemerintah daerah menertibkan sektor tambang agar pembangunan tak mengorbankan lingkungan dan hukum. Sebab, membangun negeri bukan hanya soal gedung berdiri dan jalan terbentang, tetapi juga soal bagaimana proses itu dilakukan, apakah bersih, apakah sah, dan apakah berkelanjutan?
Natuna kini di persimpangan memilih menutup mata demi percepatan pembangunan, atau membenahi tata kelola pertambangan demi masa depan yang lebih bersih.
Perlu diketahui dalam UU Minerba (UU No. 3 Tahun 2020):
– Pasal 161: Menampung/mengolah hasil tambang ilegal, pidana penjara maks. 5 tahun & denda maks. Rp100 miliar.
– UU TPPU (UU No. 8 Tahun 2010):
– Jika hasil tambang ilegal dicuci, pidana penjara maks. 20 tahun & denda maks. Rp5 miliar.(Roy)
telah dibaca :
156