“Satu Hari, Satu Laporan, Satu Penyidikan”: Advokat Diperiksa, Imunitas Diuji

MAKASSAR – Tanggal 27 Juni 2025. Hari itu adalah 1 Muharram 1447 H, hari libur nasional umat Islam, tahun baru hijriah. Namun, di hari yang seharusnya hening dan reflektif itu, satu nama advokat tiba-tiba menjadi sorotan hukum — Wawan Nur Rewa.

Dalam hitungan jam, laporan yang sebelumnya hanya berstatus Laporan Informasi, melonjak menjadi Laporan Polisi, lengkap dengan Surat Perintah Penyidikan (SP-Sidik) dan SPDP yang langsung dikirim ke rumahnya. Semua terjadi di hari yang sama.

“Saya terima surat SPDP itu di rumah. Kaget. Saya belum pernah dipanggil sebagai terlapor, belum pernah diperiksa secara formal. Tapi sudah penyidikan,” tutur Wawan dengan nada tertekan saat diwawancara, 3 Juli 2025.

Wawan bukan sembarang pengacara. Ia dikenal sebagai pembela masyarakat kecil. Kali ini, ia mewakili ahli waris tanah yang mempermasalahkan keberadaan bangunan AAS Building di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar — sebuah gedung megah yang dikaitkan dengan tokoh nasional, Andi Amran Sulaiman (AAS).

Pernyataan Wawan yang dimuat di media daring, dalam upaya membela kliennya, justru menjadi dasar pelaporan atas dugaan pencemaran nama baik. Laporan dilayangkan oleh kuasa hukum berinisial AB, yang disebut mewakili AAS, berdasarkan LI/510/IV/RES.1.14/2025/Reskrim tanggal 17 April 2025.

Dua bulan kemudian, laporan itu berubah drastis:

  • LP/1125/IV/2025/Polda Sulsel/Restabes Mks – 27 Juni 2025
  • SP-Sidik/270/VI/Res.1.24/2025/Reskrim – 27 Juni 2025
  • SPDP/283/VI/Res.1.24/2025/Reskrim – 27 Juni 2025

“Kalau kecepatan begini dijadikan standar semua laporan masyarakat, luar biasa. Tapi jangan sampai hanya berlaku untuk kasus tertentu,” ujar Wawan dengan nada sinis.

Aksi Solidaritas dan Tudingan Kriminalisasi

Respons pun mengalir deras. Puluhan advokat di Sulsel turun ke jalan dalam aksi Koalisi Advokat Sulsel. Mereka menilai laporan terhadap Wawan sebagai bentuk kriminalisasi profesi.

“Hari ini Wawan, besok bisa siapa saja. Kalau advokat tidak lagi dilindungi saat membela, maka rakyat pun kehilangan pembelanya,” teriak salah satu peserta aksi.

Mereka menuntut penghentian penyidikan, menegaskan bahwa tindakan Wawan adalah bagian dari tugas profesi advokat yang dilindungi UU No. 18 Tahun 2003, khususnya pasal tentang hak imunitas advokat.

Namun, ironinya, kecepatan penanganan kasus ini justru menjadi sorotan. Di tengah banyaknya laporan masyarakat yang menumpuk bertahun-tahun, kasus Wawan ditangani “super cepat” — hanya dalam sehari, semua dokumen hukum diterbitkan.

“Saya Tidak Akan Mundur”

Meski kecewa, Wawan menegaskan bahwa dirinya akan tetap menghormati hukum. Namun ia juga menyiapkan langkah hukum untuk melawan balik upaya yang dianggap mencederai kebebasan advokat dalam menjalankan profesinya.

“Saya tidak akan mundur. Jika advokat dibungkam karena membela klien, maka demokrasi kita sudah sangat sakit,” tegasnya.

Di sisi lain, masyarakat sipil dan aktivis hukum mulai bersuara. Beberapa menganggap kasus ini sebagai tes besar terhadap netralitas penegak hukum, apalagi menyangkut tokoh nasional dan profesional hukum yang sama-sama memiliki pengaruh.

Menanti Penjelasan Resmi

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari Polrestabes Makassar maupun dari pihak yang disebut sebagai pelapor. Publik masih menanti apakah proses hukum ini akan tetap berjalan atau justru menjadi pemicu evaluasi menyeluruh terhadap praktik penyidikan di Indonesia.

Yang jelas, satu pertanyaan menggantung di benak banyak orang:

“Apakah benar seorang advokat bisa dikriminalisasi hanya karena membela kliennya?”

Waktu yang akan menjawabnya.

Redaksi