Tak Mau Dikritik, Bupati Cen Elu-Elukan Media Plat Merah

(Bupati Natuna Cen Sui Lan)

 

Natuna, Metro Online – Ketika kritik diarahkan demi perbaikan, lazimnya seorang pemimpin menjadikannya sebagai cermin evaluasi. Namun hal itu tampaknya tak berlaku bagi Bupati Natuna, Cen Sui Lan. Ia justru terlihat tak nyaman ketika sejumlah media mengoreksi kebijakannya yang dinilai menyimpang dari prinsip transparansi.

Dalam sebuah pernyataan yang dimuat di media milik pemerintah alias “media plat merah”, tgl 29/07/2025, Bupati Cen justru mengagungkan media tersebut sebagai garda terdepan penyampai informasi terpercaya. Ia menekankan pentingnya informasi yang valid dan bebas dari disinformasi di tengah derasnya arus berita hoaks.

Namun pernyataan itu menimbulkan polemik. Pasalnya, Bupati Cen secara tersirat menyamakan media yang kerap melontarkan kritik terhadap kebijakannya sebagai penyebar hoaks. Padahal, kritik yang disampaikan oleh jurnalis khususnya terkait proyek-proyek yang dikerjakan belum melalui proses lelang, justru bersifat membangun dan mengingatkan agar pemerintahan berjalan sesuai aturan.

“Seharusnya bupati berterima kasih karena diingatkan. Bayangkan jika proyek-proyek itu dibayar dulu baru ditulis berapa orang yang akan masuk penjara?” ungkap salah satu jurnalis lokal yang kecewa dengan pernyataan sang bupati.

Ketua Persatuan Jurnalis Natuna (PJN), dalam pernyataannya, menyesalkan sikap Bupati Cen yang dinilai tidak mencerminkan semangat keterbukaan informasi publik. “Tuduhan terhadap media yang kritis sebagai penyebar hoaks adalah bentuk pembungkaman halus. Ini preseden buruk bagi iklim demokrasi dan kebebasan pers di daerah,” tegasnya.

Situasi ini memunculkan keresahan di kalangan jurnalis lokal. Belum pernah sebelumnya seorang kepala daerah di Natuna bersitegang dengan media hingga menunjukkan ketidakharmonisan secara terbuka. Padahal, keberadaan wartawan sejatinya adalah perpanjangan lidah masyarakat, bukan musuh kekuasaan.

Dalam praktik demokrasi, pers berfungsi sebagai kontrol sosial bukan sekadar tukang siar agenda pemerintah. Ketika media dikerdilkan hanya sebagai corong puja-puji, maka yang terjadi adalah pemiskinan informasi publik.

“Pers bukan pelengkap seremoni. Kami hadir untuk menyuarakan fakta, terutama yang tak nyaman didengar penguasa,” ujar Roy, (31/07).

Ironisnya, di tengah semangat reformasi dan transparansi yang terus digaungkan di tingkat nasional, justru di daerah masih terjadi resistensi terhadap kritik. Ketidakmauan menerima kritik bukan hanya mengerdilkan nilai demokrasi, tetapi juga mengisolasi pemimpin dari suara warganya sendiri.

Sikap defensif dan elitis bukan jalan keluar dari masalah. Kritik tajam, justru bisa menjadi penuntun arah kebijakan yang lebih baik, jika ditanggapi dengan lapang dada.(Red)



telah dibaca :
26