Telok Depeh, Kampung yang Terlupa: Tak Setetes Daging Kurban untuk 38 Kepala Keluarga

(Foto Ilustrasi sesuai isi berita)

 

Natuna, Metro Online – Di tengah riuhnya takbir menggema dan aroma daging kurban menyeruak di banyak sudut Nusantara, sebuah kampung kecil di ujung utara Indonesia merayakan Idul Adha dalam sepi—tanpa kurban, tanpa daging, tanpa perhatian. Namanya Telok Depeh, sebuah kampung di Pulau Bunguran Besar, Kecamatan Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna, yang dihuni oleh sekitar 38 kepala keluarga.

Hari raya yang seharusnya menjadi simbol berbagi dan keadilan sosial, justru menjadi potret kesenjangan nyata bagi warga Telok Depeh.

“Tahun ini tidak ada hewan kurban di kampung kami. Sejak dulu pun tidak pernah ada bantuan daging kurban, baik dari pemerintah maupun kecamatan,” kata Mustahardi, salah satu warga, kepada awak media, Minggu (8/6/25).

Dari Tahun ke Tahun, Selalu Terlewat

Menurut Mustahardi, ini bukan kisah baru. Tahun demi tahun, saat masyarakat lain bergembira dengan daging kurban di meja makan, Telok Depeh justru hanya bisa menonton dari jauh. Bahkan saat bantuan hewan kurban dari Presiden disalurkan ke Natuna, kampung ini tetap tak tersentuh.

Tak adanya penyembelihan hewan kurban lokal, ditambah distribusi daging yang tak pernah mampir, menjadikan Idul Adha di Telok Depeh seperti hari biasa yang sunyi—tanpa jejak semangat pengorbanan atau kebersamaan sosial.

Kebijakan yang Tak Menyentuh Akar

Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Pertanian Natuna, Wan Zazali, menjelaskan bahwa lokasi penyembelihan hewan kurban bantuan Presiden dipilih oleh Bupati, dan Telok Depeh tak masuk dalam daftar.

“Kita pilih Masjid Ranai Darat karena wilayahnya besar dan penduduknya ramai. Itu juga sesuai arahan Presiden,” ujarnya.

Dua ekor hewan kurban lain dari Pemprov Kepri disalurkan ke Sedanau, wilayah Kecamatan Bunguran Barat. Sayangnya, penentuan lokasi ini sepenuhnya kewenangan provinsi. Telok Depeh, sekali lagi, terlewat.

“Distribusi daging kurban di luar lokasi yang ditentukan, itu bukan domain kami,” tambah Wan Zazali.

Keadilan Sosial yang Dipertanyakan

Reaksi keras datang dari berbagai kalangan. Pian, warga Kota Ranai, menyayangkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi masyarakat kecil di pelosok.

> “Kondisi ekonomi makin sulit. Kami harap pemerintah lebih peka. Masa saat Lebaran pun masih ada yang tak bisa menikmati daging kurban?”

Ia menilai, kebijakan distribusi daging kurban semestinya menomorsatukan mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan hanya wilayah dengan populasi besar atau yang mudah dijangkau. Apalagi, distribusi ini digadang-gadang berasal dari bantuan Presiden—seharusnya membawa semangat keadilan dan pemerataan.

Hari Raya Tanpa Daging, Tapi Penuh Harap

Meski tak ada daging di piring mereka, semangat Idul Adha di Telok Depeh tidak sepenuhnya padam. Di balik kesunyian dan rasa tertinggal, tersimpan harapan bahwa suatu hari, keadilan sosial benar-benar merata. Bahwa pemerintah akan menoleh ke kampung-kampung kecil yang nyaris tak terdengar suaranya.

“Kami tidak minta lebih, hanya ingin ikut merasakan sedikit berkah Idul Adha, seperti warga Indonesia lainnya,” ujar Mustahardi, menutup percakapan.

Satu kampung yang dilupakan dalam gemuruh pesta kurban. Satu kisah yang seharusnya membuka mata kita: bahwa keadilan bukan soal jumlah, tapi tentang siapa yang paling butuh diperhatikan.(Roy)



telah dibaca :
84